Selasa, 20 Desember 2011

cerpen

piknik
Para pelancong mengunjungi kota kami untuk menyaksikan kepedihan. Merekadatang untuk menonton kota kami yang hancur. Kemunculan para pelancong itumembuat kesibukan tersendiri di kota kami. Biasanya kami duduk-duduk di gerbangkota menandangi para pelancong yang selalu muncul berombongan mengendaraikuda, keledai, unta, atau permadani terbang dan juga kuda sembrani. Mereka datangdari segala penjuru dunia. Dari negeri-negeri jauh yang gemerlapan.Di bawah langit senja yang kemerahan kedatangan mereka selalu terlihat bagaikansiluet iring-iringan kafilah melintasi gurun perbatasan, membawa bermacamperbekalan piknik. Berkarung-karung gandum yang diangkut gerobak pedati, dagingasap yang digantungkan di punuk unta terlihat bergoyang-goyang, roti kering yangdisimpan dalam kaleng, botol-botol cuka dan saus, biskuit dan telor asin, rendangdalam rantang—juga berdus-dus mi instan yang kadang mereka bagikan pada kami.Penampilan para pelancong yang selalu riang membuat kami sedikit merasa terhibur.Kami menduga, para pelancong itu sepertinya telah bosan dengan hidup mereka yangsudah terlampau bahagia. Hidup yang selalu dipenuhi kebahagiaan ternyata bisamembosankan juga. Mungkin para pelancong itu tak tahu lagi bagaimana caranyamenikmati hidup yang nyaman tenteram tanpa kecemasan di tempat asal mereka.Karena itulah mereka ramai-ramai piknik ke kota kami: menyaksikan bagaimanaperlahan-lahan kota kami menjadi debu. Kami menyukai cara mereka tertawa, saatmereka begitu gembira membangun tenda-tenda dan mengeluarkan perbekalan, laluberfoto ramai-ramai di antara reruntuhan puing-puing kota kami. Kami sepertimenyaksikan rombongan sirkus yang datang untuk menghibur kami.Kadang mereka mengajak kami berfoto. Dan kami harus tampak menyedihkan dalamfoto-foto mereka. Karena memang untuk itulah mereka mengajak kami berfotobersama. Mereka tak suka bila kami terlihat tak menderita. Mereka menyukai wajahkami yang keruh dengan kesedihan. Mata kami yang murung dan sayu. Sementaramereka—sembari berdiri dengan latar belakang puing-puing reruntuhan kota—berpose penuh gaya tersenyum saling peluk atau merentangkan tangan lebar-lebar.Mereka segera mencetak foto-foto itu, dan mengirimkannya dengan merpati-merpatipos ke alamat kerabat mereka yang belum sempat mengunjungi kota kami.Belakangan kami pun tahu, kalau foto-foto itu kemudian dibuat kartu pos dandiperjualbelikan hingga ke negeri-negeri dongeng terjauh yang ada di balik pelangi.Pada kartu pos yang dikirimkannya itu, para pelancong yang sudah mengunjungi kotakami selalu menuliskan kalimat-kalimat penuh ketakjuban yang menyatakan betapaterpesonanya mereka saat menyaksikan kota kami perlahan-lahan runtuh dan lenyap.Mereka begitu gembira ketika melihat tanah yang tiba-tiba bergetar. Bagai ada nagamenggeliat di
Bagi para pelancong itu, kota kami adalah kota paling menakjubkan yang pernahmereka saksikan. Mereka telah berkelana ke sudut-sudut dunia, menyaksikan beragamkeajaiban di tiap kota. Mereka telah menyaksikan menara-menara gantung yangdibuat dari balok-balok es abadi, candi-candi megah yang disusun serupa tiara;menyaksikan seekor ayam emas bertengger di atas katedral tua sebuah kota yangselalu berkokok setiap pagi. Mereka juga telah melihat kota dengan kanal-kanal yangdialiri cahaya kebiru-biruan. Kepada kami para pelancong itu juga bercerita perihalkota kuno yang berdiri di atas danau bening, dengan rumah-rumah yang beranda-berandanya saling bertumpukan, dan jalan-jalannya yang menyusur dinding-dindingmenghadap air, hingga menyerupai kota yang dibangun di atas cermin; kota dengan jalan layang menyerupai jejalin benang laba-laba; sebuah kota yang menyerupaibenteng di ujung sebuah teluk, dengan jendela-jendela dan pintu-pintu yang selalutertutup menyerupai gelapanggur dan hanya bisadilihat ketika senja kala. Bahkanmereka bersumpah telah mendatangi kota yang hanya bisa ditemui dalam imajinasiseorang penyair. Tapi kota kami, menurut mereka, adalah kota paling ajaib yangpernah mereka kunjungi.Para pelancong menyukai kota kami karena kota kami dibangun untuk menantikeruntuhan. Banyak kota dibangun dengan gagasan untuk sebuah keabadian, tetapitidak dengan kota kami. Kota kami berdiri di atas lempengan bumi yang selalubergeser. Kau bisa membayangkan gerumbul awan yang selalu bergerak danbertabrakan, seperti itulah tanah di mana kota kami berdiri. Membuat semuabangunan di kota kami jadi terlihat selalu berubah letaknya. Barisan pepohonanseakan berjalan pelan. Lorong-lorong, jalanan, dan sungai selalu meliuk-liuk. Danketika sewaktu-waktu tanah terguncang, bangunan dan pepohonan di kota kamisaling bertubrukan, rubuh dan runtuh menjadi debu—serupa istana pasir yang seringkau buat di pinggir pantai ketika kau berlibur menikmati laut.Rupanya itulah pemandangan paling menakjubkan yang membuat para pelancong ituterpesona. Para pelancong itu segera menghambur berlarian menuju bagian kota kamiyang runtuh, begitu mendengar kabar ada bagian kota kami yang tergoncang porak-poranda. Dengan handycam mereka merekam detik-detik keruntuhan itu. Merekaterpesona mendengar jerit ketakutan orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri,gemeretak tembok-tembok retak, suara menggemuruh yang merayap dalam tanah.Itulah detik-detik paling menakjubkan bagi para pelancong yang berkunjung ke kotakami; seolah semua itu atraksi paling spektakuler yang beruntung bisa merekasaksikan dalam hidup mereka yang terlampau bahagia. Lalu mereka memotret mayat-mayat yang tertimbun balok-balok dan batu bata. Mengais reruntuhan untukmenemukan barang-barang berharga yang bisa mereka simpan sebagai kenangan.Saat malam tiba, dan bintang- bintang terasa lebih jauh di langit hitam, para pelancongitu bergerombol berdiang di seputar api unggun sembari berbagi cerita. Memetikkecapi dan bernyanyi. Atau rebahan di dalam tenda sembari memainkan harmonika.Dari kejauhan kami menyaksikan mereka, merasa sedikit terhibur dan tak terlalumerasa kesepian. Bagaimanapun kami mesti berterima kasih karena para pelancong itumau berkunjung ke kota kami. Mereka membuat kami semakin mencintai kota kami.Membuat kami tak hendak pergi mengungsi dari kota kami. Karena bila para
ceruk bumi—atau seperti ketika kau merasakan kereta bawah tanahmelintas menggemuruh di bawah kakimu. Betapa menggetarkan melihat pohon-pohon bertumbangan dan rumah-rumah rubuh menjadi abu. Membuat hidup parapelancong yang selalu bahagia itu menjadi lengkap, karena bisa menyaksikan segalasesuatu sirna begitu saja.
pelancong itu menganggap kota kami adalah kota yang penuh keajaiban, kenapa kamimesti menganggap apa yang terjadi di kota kami ini sebagai malapetaka atau bencana?Seperti yang sering dikatakan para pelancong itu pada kami, setiap kota memangmemiliki jiwa. Itulah yang membuat setiap kota tumbuh dengan keunikannya sendiri-sendiri. Membuat setiap kota memiliki kisahnya sendiri-sendiri. Keajaiban tersendiri.Setiap kota terdiri dari gedung- gedung, sungai-sungai, kabut dan cahaya serta jiwapara penghuninya; yang mencintai dan mau menerima kota itu menjadi bagiandirinya. Kami sering mendengar kota-kota yang lenyap dari peradaban, runtuhtertimbun waktu. Semua itu terjadi bukan karena semata-mata seluruh bangunan kotaitu hancur, tetapi lebih karena kota itu tak lagi hidup dalam jiwa penghuninya. Kamitak ingin kota kami lenyap, meski sebagian demi sebagian dari kota kami perlahan-lahan runtuh menjadi debu. Karena itulah kami selalu membangun kembali bagian-bagian kota kami yang runtuh. Kami mendirikan kembali rumah-rumah, jembatan,sekolah, tower dan menara, rumah sakit-rumah sakit, menanam kembali pohon-pohon, hingga di bekas reruntuhan itu kembali berdiri bagian kota kami yang hancur.Kota kami bagaikan selalu muncul kembali dari reruntuhan, seperti burung phoenixyang hidup kembali dari tumpukan abu tubuhnya.Kesibukan kami membangun kembali bagian kota yang runtuh menjadi tontonan jugabagi para pelancong itu. Sembari menaiki pedati, para pelancong itu berkeliling kotamenyaksikan kami yang tengah sibuk menata reruntuhan. Mereka tersenyum danmelambai ke arah kami, seakan dengan begitu mereka telah menunjukkan simpatipada kami. Sesekali para pelancong itu berhenti, membagikan sekerat biskuit,sepotong dendeng, sebotol minuman, atau sesendok madu— kemudian kembali pergiuntuk melihat-lihat bagian lain kota kami yang masih bergerak bertabrakan danhancur. Kemudian para pelancong itu pergi dengan bermacam cerita ajaib yang akanmereka kisahkan pada kebarat dan kenalan mereka yang belum sempat mengunjungikota kami. Mereka akan bercerita bagaimana sebuah kota perlahan- lahan hancur dantumbuh kembali. Sebuah kota yang akan mengingatkanmu pada yang rapuh,sementara, dan fana. Sebuah kota yang membuat para pelancong berdatangan inginmenyaksikannya.Bila kau merencanakan liburan akhir pekan—dan kau sudah bosan piknik ke kota-kotabesar dunia yang megah dan gemerlap—ada baiknya kau berkunjung ke kota kami. Jangan lupa membawa kamera untuk mengabadikan penderitaan kami. Mungkin itubisa membuatmu sedikit terhibur dan gembira. Berwisatalah ke kota kami. Jangankhawatir, kami pasti akan menyambut kedatanganmu dengan kalungan bunga-ai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar